BAB I
PENDAHULUAN
Tawassul adalah
mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya,
beribadah kepada-Nya, mengikuti petunjuk Rasul-Nya dan mengamalkan seluruh
amalan yang dicintai dan di ridhai-Nya, lebih jelasnya adalah kita melakukan
suatu ibadah dengan maksud mendapatkan keridhaan Allah dan surga-Nya. Tentu
saja ini merupakan bentuk ibadah kepada Allah yang sering kali kita lakukan
dalam kehidupan kita namun perlu diketahui bahwa tidak sedikit pula orang yang
terjerumus kedalam tawassul yang itu sama sekali tidak di syari’atkan di dalam
agama Islam. Ada sebagian orang yang mentakwil hadits-hadits tentang tawassul
dengan berdasarkan akal pemikiran dan hawa nafsu belaka. Sehingga muncullah
berbagai bentuk tawassul yang sama sekali tidak ada tuntunannya dalam syari’at
Islam bahkan merupakan kesyirikan yang besar.
Untuk itulah disini kita akan membahas tentang
berbagai macam bentuk tawassul yang sudah tersebar bahkan di lingkungan sekitar
kita. Kita diperbolehkan melakukan tawassul yang syar’i karena ini
merupakan suatu bentuk ibadah kepada Allah yang sesuai dengan apa yang
diajarkan Nabi kita shallallahu’alaihi wa sallam. Namun jelas kita juga
dilarang dari melakukann berbagai bentuk tawassul yang bid’ah apalagi syirik
yang ini pun juga sudah tersebar dan menjadi kebiasan bagi sebagian orang.
Mereka menganggap dirinya sedang beribadah dan memohon ridha-Nya namun ternyata
sebaliknya, murka Allah-lah baginya. Waliyyadzubillah.
Dengan itu maka kita akan mulai mengkaji apa sebenarnya makna tawassul itu dan bagaimana yang disyari’atkan serta yang bagaimana yang terlarang. Tentunya agar kita tidak terjerumus ke dalamnya tanpa kita sadari karena kejahilan pada diri kita.
Dengan itu maka kita akan mulai mengkaji apa sebenarnya makna tawassul itu dan bagaimana yang disyari’atkan serta yang bagaimana yang terlarang. Tentunya agar kita tidak terjerumus ke dalamnya tanpa kita sadari karena kejahilan pada diri kita.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tawassul
Tawassul adalah
mengambil sarana/wasilah agar do’a atau ibadahnya dapat lebih diterima dan
dikabulkan. Al-wasilah menurut bahasa berarti segala hal yang dapat
menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu.
Pemahaman tawassul sebagaimana yang
dipahami oleh umat islam selama ini adalah bahwa Tawassul adalah berdoa kepada
Allah melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita
ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat
kepada Allah. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju
Allah SWT. Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah menjadikan
perantaraan berupa sesuatu yang dicintainya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah
SWT juga mencintai perantaraan tersebut.
Orang yang bertawassul tidak boleh
berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah bisa memberi manfaat dan madlorot
kepadanya da. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan
menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlorot, maka dia telah
melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlorot
sesungguhnya hanyalah Allah semata.
Tawassul merupakan salah satu cara dalam
berdoa. Banyak sekali cara untuk berdo'a agar dikabulkan Allah, seperti berdoa
di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan
mendahuluinya dengan bacaan alhamdulillah dan sholawat dan meminta doa
kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar do'a
yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah s.w.t. Dengan demikian,
tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan.
Bentuk jamaknya adalah wasaa-il
(An-Nihayah fil Gharibil Hadiit wal Atsar :v/185 Ibnul Atsir). Sedang
menurut istilah syari’at, al-wasilah yang diperintahkan dalam al-Qur’an
adalah segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah Ta’ala, yaitu
berupa amal ketaatan yang disyariatkan. (Tafsir Ath-Thabari IV/567 dan Tafsir
Ibnu Katsir III/103)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ
وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diti
kepadaNya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya agar kamu beruntung.” (Qs.Al-Maidah:35)
Adapun tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan
cara tertentu) ada tiga macam: tawassul sunnah, tawassul bid’ah, dan tawassul
syirik.
Tawassul dalam
tinjauan bahasa dan Al Qur’an
At tawassul secara
bahasa artinya mendekatkan diri dengan sesuatu amal (Al Misbahul Munir,
2/660). Bisa juga dimaknai dengan berharap (ar raghbah) dan butuh
(Lihat Al Mufradat fi ghoribil Qur’an, 523). Terkadang juga dimaknai
dengan “tempat yang tinggi”. Sebagaimana terdapat dalam lafadz do’a setelah
adzan: “Aati Muhammadanil wasilata…”. Disebutkan dalam Shahih Muslim
bahwa makna “Al Wasilah” pada do’a di atas adalah satu kedudukan di
surga yang hanya akan diberikan kepada satu orang saja.
Ringkasnya, tawassul secara bahasa memiliki empat makna: mendekatkan diri, berharap, butuh, dan kedudukan yang tinggi.
Ringkasnya, tawassul secara bahasa memiliki empat makna: mendekatkan diri, berharap, butuh, dan kedudukan yang tinggi.
1.
Tawassul Sunnah
Pertama:
Bertawassul dengan menyebut asma’ul husna yang sesuai dengan hajatnya ketika
berdo’a. Allah Ta’ala berfirman,
“Hanya milik Allah-lah asma’ul
husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asma’ul husna itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut
nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka
kerjaan.” (Qs.Al-A’raf:180)
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda
dalam do’anya,
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu
dengan seluruh nama-Mu, yang Engkau menamakan diriMu dengan nama-nama tersebut,
atau yang telah Engkau ajarkan kepada salah seorang hambaMu, atau yang telah
Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang masih tersimpan di sisi-Mu.” (HR.Ahmad
:3712)
Kedua:
Bertawassul dengan sifat-sifat Allah Ta’ala. Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam bersabda dalam do’anya,
“Wahai Dzat Yag Maha Hidup lagi Maha
Berdiri sendiri, hanyadengan RahmatMu lah aku ber istighatsah, luruskanlah
seluruh urusanku, dan janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri
walaupun sekejap mata.” (HR. An-Nasa’i, Al-Bazzar dan Al-Hakim)
Ketiga:
Bertawassul dengan amal shalih
Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab shahih muslim,
sebuah riwayat yang mengisahkan tentang tiga orang yang terperangkap dalam gua.
Lalu masing-masing bertawassul dengan amal shalih mereka. Orang pertama
bertawassul dengan amal shalihnya berupa memelihara hak buruh. Orang ke dua
bertawassul dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Sedangkan orang ke tiga
bertawassul dengan takutnya kepada Allah Ta’ala, sehingga menggagalkan
perbuatan keji yang hendak dia lakukan. Akhirnya Allah Ta’ala membukakan pintu
gua itu dari batu besar yang menghaanginya, hingga mereka bertiga pun akhirnya
selamat. (HR.Muslim 7125)
Keempat:
Bertawassul dengan meminta doanya orang shalih yang masih hidup. Dalam sebuah
hadits diceritakan bahwa ada seorang buta yang datang menemui Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam.
Orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, berdo’alah
kepada Allah agar menyembuhkanku (sehingga aku bisa melihat kembali).”
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjawab,
“Jika Engkau menghendaki aku akan berdoa untukmu. Dan jika engkau menghendaki,
bersabar itu lebih baik bagimu.”
Orang tersebut tetap berkata,”Do’akanlah.”
Lalu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
menyuruhnya berwudhu secara sempurna lalu shalat dua raka’at, selanjutnya
beliau menyuruhnya berdoa dengan mengatakan,
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan aku
menghadap kepada-Mu bersama dengan nabi-Mu, Muhammad, seorang nabi yang membawa
rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap bersamamu kepada Tuhanku
dalam hajatku ini, agar Dia memenuhi untukku. Ya Allah jadikanlah ia pelengkap
bagi (doa)ku, dan jadikanlah aku pelengkap bagi (doa)nya.” Ia (perawi hadits)
berkata,”Laki-laki itu kemudian melakukannya, sehingga dia sembuh.” (HR.Ahmad
dan Tirmidzi)
Kelima:
Bertawassul dengan keimanannya kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِياً يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ آمِنُواْ بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ
رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِياً يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ آمِنُواْ بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami
mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu),’Berimanlah kamu kepada
Tuhanmu’. Maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa
kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami
beserta orang-orang yang berbakti.” (Qs.Ali-Imran:193)
Keenam:
Bertawassul dengan ketauhidannya kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن
نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ
سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ
مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun
(Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami
tidak akan mempersemptnya (menyulitkannya). Maka ia menyeru dalam keadaan yang
sangat gelap,’bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disebah) selain Engkau,
maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’
Maka Kami telah memperkenankan do’anya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan
demikian Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (Qs.Al-Anbiya:87-88)
2.
Tawassul Bid’ah
Pertama:
Tawassul dengan kedudukan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam atau
kedudukan orang selain beliau.
Dalam shahih Bukhari terdapat
hadits, “Dari Anas bin Malik, bahwasannya Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu
jika terjadi kekeringan, maka beliau berdo’a agar diturunkan hujan dengan
bertawassul melalui perantaraan (do’a) Al-‘Abbas bin Abdul Muthallib. Umar
berkata,’Ya Allah dahulu kami bertawassul dengan nabi kami hingga Engkau
menurunkan hujan kepada Kami. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman nabi
kami, maka turunkanlah hujan kepada kami’. Kemudian turunlah hujan.”
(HR.Bukhari: 1010)
Maksud bertawassul dengan Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam bukanlah “Bertawassul dengan menyebut nama Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam atau dengan kedudukannya sebagaimana persangkaan sebagian orang.
Akan tetapi maksudnya adalah bertawassul dengan do’a Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam. Oleh karena itu ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
telah wafat, para sahabat tidak bertawassul dengan nama atau keddukan Nabi,
akan tetapi bertawassul dengan doa paman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
–yaitu ‘Abbas- yang saat itu masih hidup.
Kedua:
Bertawassul dengan cara menyebutkan nama atau kemuliaan orang shalih ketika
berdo’a kepada Allah Ta’ala.
Ini adalah bid’ah bahkan perantara
menuju kesyirikan. Contoh,”Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan kemuliaan
Syaikh Abdul Qadir Jailani, ampunilah aku.”
Ketiga:
Bertawassul dengan cara beribadah kepada Allah Ta’ala di sisi kubur orang
shalih. Ini merupakan bid’ah yang diada-adakan, dan bahkan merupakan perantara
menuju kesyirikan.
3.
Tawassul Syirik
Tawassul yang
syirik adalah menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam
beribadah seperti berdoa kepada mereka, meminta hajat, atau memohon pertolongan
kepada mereka. Contoh,”Ya Sayyid Al-Badawi, mohonlah kepada Allah untuk kami”.
Perbuatan ini merupakan syirik
akbar dan dosa besar yang paling besar, meskipun mereka menamakannya dengan
“tawassul”. Hukum syirik ini dilihat dari hakikatnya yaitu berdo’a kepada
selain Allah.
B.
Tawassul yang
Dibolehkan dan yang Terlarang
1. Tawassul
yang disyari’atkan
Berdasarkan
penjelasan tentang pengertian tawassul di atas, dapat disimpulkan
bahwa pada dasarnya setiap ketaatan dan sikap merendahkan diri di hadapan Allah
dapat dijadikan sebagai bentuk tawassul. Namun di sana ada beberapa
amal khusus yang disebutkan dalam dalil untuk dijadikan sebagai bentak bertawassul
kepada Allah, di antaranya:
1) Melalui asmaul
husna
Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hanya milik Allah asmaa-ul husna,
maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut)
nama-nama-Nya. (QS. Al A’raf : 180)
Berdasarkan
ayat tersebut, dianjurkan bagi setiap yang hendak berdo’a untuk memuji Allah
terlebih dahulu dengan menyebut nama-namaNya yang mulia dan disesuaikan dengan
isi do’a. Misalnya do’a minta ampunan dan rahmat, maka dianjurkan untuk
menyebut nama Allah: Al Ghafur Ar Rahiim.
2) Membaca
shalawat
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua do’a tertutupi (tidak bisa naik ke
langit) sampai dibacakan shalawat untuk Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa
sallam.” (HR. At Thabrani dalam Al Ausath dan dihasankan Al Albani)
3) Memilih
waktu dan tempat mustajab
Ada beberapa
waktu yang mustajab untuk berdo’a , di antaranya :
·
Waktu antara adzan dan iqamah, berdasarkan
hadits, “Do’a di antara adzan dan iqamah tidak ditolak, maka berdo’alah.”
(HR. At Tirmidzi dan dishahihkan Al Albani)
·
Di akhir
shalat fardhu sebelum salam, berdasarkan riwayat ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ditanya, “Kapankah do’a seseorang itu paling didengar?”
Beliau menjawab, “Tengah malam dan akhir shalat fardhu.” (HR. At
Tirmidzi dan dihasankan Al Albani). Yang dimaksud “akhir shalat fardlu” adalah setelah
tasyahud sebelum salam.
·
Satu waktu di hari jum’at setelah ‘Ashar,
berdasarkan hadits, “Hari jum’at itu ada 12 jam. Di antaranya ada satu
waktu yang jika seorang muslim memohon kebaikan kepada Allah pada waktu
tersebut pasti Allah beri. Cari waktu itu di akhir hari setelah ashar.”
(HR. Abu Daud dan dishahihkan Al Hakim dengan disetujui Ad Dzahabi)
4) Meminta
orang shaleh yang masih hidup untuk mendo’akannya
Karena
keshalehan dan kedudukan manusia itu bertingkat-tingkat. Sehingga peluang
terkabulkannya do’a seseorang juga bertingkat-tingkat sebanding dengan
kedekatannya kepada Allah. Oleh karena itu, ada beberapa sahabat yang meminta
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendo’akannya. Namun
ada beberapa hal yang perlu untuk diingat terkait dengan meminta orang lain
agar mendo’akannya:
·
Hendaknya tidak dijadikan kebiasaan. Atau bahkan
dijadikan sebagai ucapan latah ketika ketemu setiap orang. Sering dijumpai ada
orang yang setiap ketemu orang lain pasti minta agar dido’akan. Bahkan yang
lebih baik dalam hal ini adalah berusaha untuk berdo’a sendiri dan tidak
menggantungkan diri dengan meminta orang lain. Sebagaimana yang dilakukan oleh
Abu Bakr As Siddiq radhiallahu ‘anhu yang tidak meminta kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk mendo’akan dirinya.
·
Do’a yang diminta bukan murni masalah dunia dan
untuk kepentingan pribadinya. Semacam lulus tes, banyak rizqi, dan semacamnya.
Jika do’a itu untuk kepentingan pribadinya maka selayaknya yang diminta adalah
akhirat. Sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat dengan meminta Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dirinya dimasukkan ke dalam surga.
Atau, jika do’a itu isinya kepentingan dunia, maka selayaknya bukan untuk
kepentingan pribadinya namun untuk kepentingan umum, semacam meminta hujan atau
keamanan kampung.
5) Amal
shaleh
Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya), “Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar
seorang da’i yang mengajak untuk beriman kepada Engkau lalu kami beriman…”
(QS. Ali Imran : 193).
Pada ayat di
atas Allah mengajarkan salah satu cara bertawassul ketika berdo’a, dengan
menyebutkan amal shalih yang paling besar nilainya, yaitu memenuhi panggilan
dakwah seorang nabi untuk beriman kepada Allah.
Masih banyak
bentuk-bentuk tawasul lainnya yang disyari’atkan, namun mengingat keterbatasan
tempat tidak bisa disebutkan. Secara ringkas, tawassul yang
disyariatkan dapat dikelompokkan menjadi tiga :
·
Tawassul dengan memuji Allah sambil
menyebut asma’ul husna
·
Tawassul dengan meminta orang shaleh
yang masih hidup untuk mendo’akannya
·
Tawassul dengan amal shaleh. Membaca
shalawat, memilih waktu yang mustajab, dan semacamnya tercakup dalam amal
shaleh.
2. Tawassul
yang terlarang
Tawassul yang
terlarang adalah menggunakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan
sesuatu yang tidak dijelaskan oleh syari’at. Tawassul yang terlarang
dapat dikelompokkan menjadi dua macam:
a) Bertawassul
dengan sesuatu yang tidak dijelaskan oleh syariat.
Tawassul jenis
ini adalah tawassul yang terlarang, bahkan terkadang menyebabkan
timbulnya perbuatan syirik. Misalnya seseorang bertawassul dengan kedudukan
(jaah) Nabi ‘alaihis shalatu was salam atau kedudukan
orang-orang shaleh di sisi Allah. Karena tawassul semacam ini berarti
telah menetapkan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah yang tidak ada
dasarnya dalam syariat. Karena kedudukan siapa pun di sisi Allah itu tidak
mempengaruhi terkabulnya doa orang lain yang menggunakannya sebagai sarana tawassul.
Kedudukan hanya bermanfaat bagi pemiliknya bukan orang lain. Kedudukan Nabi
‘alaihis shalatu was salam di sisi Allah hanya bermanfaat bagi do’a beliau
saja dan bukan do’a orang lain. Maka do’a kita tidaklah menjadi cepat terkabul
hanya gara-gara kita menyebut kedudukan Nabi ‘alaihis shalatu was salam
atau orang shaleh.
Di antara
bentuk tawassul semacam ini adalah tawassul yang dilakukan
sebagian kaum muslimin pada saat membaca shalawat Badr. Dalam shalawat ini
terdapat kalimat, yang artinya: “Kami bertawasul dengan sang pemberi
petunjuk, Rasulullah dan setiap orang yang berjihad di jalan Allah, yaitu
pasukan perang badar.”
Para ulama menjelaskan bahwa tawassul model semacam ini memiliki dua hukum:
[Pertama] Hukumnya bid’ah, karena tawassul termasuk salah satu bentuk ibadah. Sementara bentuk tawassul dengan cara ini belum pernah dipraktekkan di zaman Nabi ‘alaihis shalatu wa sallam dan para sahabat.
Para ulama menjelaskan bahwa tawassul model semacam ini memiliki dua hukum:
[Pertama] Hukumnya bid’ah, karena tawassul termasuk salah satu bentuk ibadah. Sementara bentuk tawassul dengan cara ini belum pernah dipraktekkan di zaman Nabi ‘alaihis shalatu wa sallam dan para sahabat.
[Kedua]
Jika diyakini dengan menggunakan tawassul jenis ini menyebabkan
do’anya menjadi cepat terkabul maka hukumnya syirik kecil. Karena orang yang
menggunakan kedudukan orang lain di sisi Allah berarti menjadikan sebab
tercapainya sesuatu yang pada hakekatnya itu bukan sebab. Pendek kata, tawassul
ini termasuk kedustaan atas nama syariat.
Namun, jika
bertawassul dengan menyebut nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam akan tetapi maksudnya adalah untuk menunjukkan keimanannya pada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti ini dibolehkan. Karena ini
termasuk bertawasul dengan amal shaleh yaitu beriman kepada nabi.
b) Tawassul
dengan ruh orang shaleh, jin, dan malaikat
Tawassul jenis
kedua ini adalah model tawassul yang dilakukan oleh orang-orang
musyrik jahiliyah. Mereka meng-agung-kan berhala, kuburan, petilasan
orang-orang shaleh karena mereka yakin bahwa ruh orang shaleh tersebut akan
menyampaikan do’anya kepada Allah ta’ala. Bahkan bentuk tawassul semacam
ini merupakan bentuk kesyirikan yang pertama kali muncul di muka bumi.
Kesyirikan yang terjadi pada kaumnya Nabi Nuh ‘alaihi salam.
Sebagaimana keterangan Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma ketika
menjelaskan awal terjadinya kesyirikan di saat beliau menafsirkan surat Al
Baqarah ayat 213. Ibnu Abbas mengatakan, “Jarak antara Adam dan Nuh ada 10
abad. Semua manusia berada di atas syariat yang benar (syariat tauhid).
Kemudian mereka berselisih (dalam aqidah). Akhirnya Allah mengutus para Nabi
sebagai pemberi peringatan.
Tawassul dengan amal sholeh kita
Para ulama sepakat memperbolehkan
tawassul terhadap Allah SWT dengan perantaraan perbuatan amal sholeh,
sebagaimana orang yang sholat, puasa, membaca al-Qur’an, kemudian mereka
bertawassul terhadap amalannya tadi. Seperti hadis yang sangat populer
diriwayatkan dalam kitab-kitab sahih yang menceritakan tentang tiga orang yang
terperangkap di dalam goa, yang pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal
baiknya terhadap kedua orang tuanya, yang kedua bertawassul kepada Allah SWT
atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan tercela walaupun ada
kesempatan untuk melakukannya dan yang ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas
perbuatannya yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan
mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan jalan keluar bagi
mereka bertiga. (Ibnu Taimiyah mengupas masalah ini secara mendetail dalam
kitabnya Qoidah Jalilah Fii Attawasul Wal wasilah hal 160)
Tawassul dengan orang sholeh
Tawassul dengan orang sholeh
Adapun yang menjadi perbedaan
dikalangan ulama’ adalah bagaimana hukumnya tawassul tidak dengan amalnya
sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai martabat
dan derajat tinggi di depan Allah. sebagaimana ketika seseorang mengatakan : ya
Allah aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammmad atau Abu bakar atau
Umar dll.
Para ulama berbeda pendapat mengenai
masalah ini. Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa
ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih
detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan
perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas
seseorang), pada intinya adalah tawassul pada amal perbuatannnya, sehingga
masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’.
C. Dalil-Dalil
tentang Tawassul
Dalam setiap permasalahan apapun
suatu pendapat tanpa didukung dengan adanya dalil yang dapat memperkuat
pendapatnya, maka pendapat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai pegangan. Dan
secara otomatis pendapat tersebut tidak mempunyai nilai yang berarti, demikian juga
dengan permasalahan ini, maka para ulama yang mengatakan bahwa tawassul
diperbolehkan menjelaskan dalil-dalil tentang diperbolehkannya tawassul baik
dari nash al-Qur’an maupun hadis, sebagai berikut :
a. Dalil dari
Al-Qur’an
1. Allah SWT
berfirman dalam surat Al-maidah 35 :
ياأيها الذين
آمنوااتقواالله وابتغوا إليه الوسيلة
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Surat Al-Isra',
57:
أُولَـئِكَ
الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ
وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ
مَحْذُوراً
Orang-orang
yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka.
[857] siapa
di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya
dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus)
ditakuti.
[857]
Maksudnya: Nabi Isa a.s., para malaikat dan 'Uzair yang mereka sembah itu
menyeru dan mencari jalan mendekatkan diri kepda Allah.
Lafadl
Alwasilah dalam ayat ini adalah umum, yang berarti mencakup
tawassul terhadap dzat para nabi dan orang-orang sholeh baik yang masih hidup
maupun yang sudah mati, ataupun tawassul terhadap amal perbuatan yang baik.
2. Wasilah
dalam berdoa sebetulnya sudah diperintahkan sejak jaman sebelum Nabi Muhammad
SAW. QS 12:97 mengkisahkan saudara-saudara Nabi Yusuf AS yang memohon ampunan
kepada Allah SWT melalui perantara ayahandanya yang juga Nabi dan Rasul, yakni
N. Ya'qub AS. Dan beliau sebagai Nabi sekaligus ayah ternyata tidak menolak
permintaan ini, bahkan menyanggupi untuk memintakan ampunan untuk
putera-puteranya (QS 12:98).
قَالُواْ
يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ. قَالَ
سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّيَ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Mereka berkata: "Wahai ayah
kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami
adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)".
98. N. Ya'qub berkata: "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
98. N. Ya'qub berkata: "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Di sini nampak jelas bahwa sudah
sangat lumrah memohon sesuatu kepada Allah SWT dengan menggunakan perantara
orang yang mulia kedudukannya di sisi Allah SWT. Bahkan QS 17:57 dengan jelas
mengistilahkan "ayyuhum aqrabu", yakni memilih orang yang lebih dekat
(kepada Allah SWT) ketika berwasilah.
3. Ummat Nabi
Musa AS berdoa menginginkan selamat dari adzab Allah SWT dengan meminta bantuan
Nabi Musa AS agar berdoa kepada Allah SWT untuk mereka. Bahkan secara eksplisit
menyebutkan kedudukan N. Musa AS (sebagai Nabi dan Utusan Allah SWT) sebagai
wasilah terkabulnya doa mereka. Hal ini ditegaskan QS 7:134 dengan istilahبِمَا
عَهِدَ عِندَكَDengan (perantaraan) sesuatu yang diketahui Allah ada pada sisimu
(kenabian). Demikian pula hal yang dialami oleh Nabi Adam AS, sebagaimana QS
2:37
فَتَلَقَّى
آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ
الرَّحِيمُ
"Kemudian Nabi Adam menerima
beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya
Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."Kalimat yang dimaksud di
atas, sebagaimana diterangkan oleh ahli tafsir berdasarkan sejumlah hadits
adalah tawassul kepada Nabi Muhammad SAW, yang sekalipun belum lahir namun
sudah dikenalkan namanya oleh Allah SWT, sebagai nabi akhir zaman.
4. Bertawassul
ini juga diajarkan oleh Allah SWT di QS 4:64 bahkan dengan janji taubat mereka
pasti akan diterima. Syaratnya, yakni mereka harus datang ke hadapan Rasulullah
dan memohon ampun kepada Allah SWT di hadapan Rasulullah SAW yang juga
mendoakannya.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ
بِإِذْنِ اللّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ
اللّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا
"Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah penerima taubat lagi maha penyayang.
"Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah penerima taubat lagi maha penyayang.
b. Dalil dari
hadis
1. Tawassul
kepada nabi Muhammad SAW sebelum lahir
Sebagaimana
nabi Adam AS pernah melakukan tawassul kepada nabi Muhammad SAW. Imam Hakim
Annisabur meriwayatkan dari Umar berkata, bahwa Nabi bersabda :
قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم : لما اقترف آدم الخطيئة قال : يا ربى ! إنى أسألك بحق
محمد لما غفرتنى فقال الله : يا آدم كيف عرفت محمدا ولم أخلقه قال : يا ربى لأنك
لما خلقتنى بيدك ونفخت فيّ من روحك رفعت رأسى فرأيت على قوائم العرش مكتوبا لاإله
إلا الله محمد رسول الله فعلمت أنك لم تضف إلى إسمك إلا أحب الخلق إليك فقال الله
: صدقت يا آدم إنه لأحب الخلق إلي، ادعنى بحقه فقد غفرت لك، ولولا محمد ما خلقتك
(أخرجه الحاكم فى المستدرك وصححه ج : 2 ص:
"Rasulullah s.a.w. bersabda:"Ketika Adam melakukan kesalahan, lalu ia berkata Ya Tuhanku, sesungguhnya aku memintaMu melalui Muhammad agar Kau ampuni diriku". Lalu Allah berfirman:"Wahai Adam, darimana engkau tahu Muhammad padahal belum aku jadikan?" Adam menjawab:"Ya Tuhanku ketika Engkau ciptakan diriku dengan tanganMu dan Engkau hembuskan ke dalamku sebagian dari ruhMu, maka aku angkat kepalaku dan aku melihat di atas tiang-tiang Arash tertulis "Laailaaha illallaah muhamadun rasulullah" maka aku mengerti bahwa Engkau tidak akan mencantumkan sesuatu kepada namaMu kecuali nama mahluk yang paling Engkau cintai". Allah menjawab:"Benar Adam, sesungguhnya ia adalah mahluk yang paling Aku cintai, bredoalah dengan melaluinya maka Aku telah mengampunimu, dan andaikan tidak ada Muhammad maka tidaklah aku menciptakanmu”.
"Rasulullah s.a.w. bersabda:"Ketika Adam melakukan kesalahan, lalu ia berkata Ya Tuhanku, sesungguhnya aku memintaMu melalui Muhammad agar Kau ampuni diriku". Lalu Allah berfirman:"Wahai Adam, darimana engkau tahu Muhammad padahal belum aku jadikan?" Adam menjawab:"Ya Tuhanku ketika Engkau ciptakan diriku dengan tanganMu dan Engkau hembuskan ke dalamku sebagian dari ruhMu, maka aku angkat kepalaku dan aku melihat di atas tiang-tiang Arash tertulis "Laailaaha illallaah muhamadun rasulullah" maka aku mengerti bahwa Engkau tidak akan mencantumkan sesuatu kepada namaMu kecuali nama mahluk yang paling Engkau cintai". Allah menjawab:"Benar Adam, sesungguhnya ia adalah mahluk yang paling Aku cintai, bredoalah dengan melaluinya maka Aku telah mengampunimu, dan andaikan tidak ada Muhammad maka tidaklah aku menciptakanmu”.
2. Tawassul kepada
nabi Muhammad SAW dalam masa hidupnya
Diriwatyatkan
oleh Imam Hakim :
عن عثمان بن حنيف قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم
وجاءه رجل ضرير
فشكا إليه ذهاب بصره، فقال : يا رسول الله ! ليس لى قائد
وقد شق علي فقال رسول الله عليه وسلم : :ائت الميضاة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم
قل : اللهم إنى أسألك وأتوجه إليك لنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى
ربك فيجلى لى عن بصرى، اللهم شفعه فيّ وشفعنى فى نفسى، قال عثمان : فوالله ما
تفرقنا ولا طال بنا الحديث حتى دخل الرجل وكأنه لم يكن به ضر. (أخرجه الحاكم
فى المستدرك)
Dari Utsman bin Hunaif: "Suatu hari seorang yang lemah dan buta datang kepada Rasulullah s.a.w. berkata: "Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai orang yang menuntunku dan aku merasa berat" Rasulullah berkata"Ambillah air wudlu, lalu beliau berwudlu dan sholat dua rakaat, dan berkata:"bacalah doa (artinya)" Ya Allah sesungguhnya aku memintaMu dan menghadap kepadaMu melalui nabiMu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafaat untukku dan berilah aku syafaat". Utsman berkata:"Demi Allah kami belum lagi bubar dan belum juga lama pembicaraan kami, orang itu telah datang kembali dengan segar bugar". (Hadist riwayat Hakim di Mustadrak)
Beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanad walaupun Imam Bukhori dan Imam Muslim tidak meriwayatkan dalam kitabnya. Imam Dzahabi mengatakatan bahwa hadis ini adalah shohih, demikian juga Imam Turmudzi dalam kitab Sunannya bab Daa’wat mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan shohih ghorib. Dan Imam Mundziri dalam kitabnya Targhib Wat-Tarhib 1/438, mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Nasai, Ibnu Majah dan Imam Khuzaimah dalam kitab shohihnya.
3. Tawassul kepada
nabi Muhammad SAW setelah meninggal
Diriwayatkan oleh Imam Addarimi :
عن أبى الجوزاء أ وس بن عبد الله قال : قحط أهل
المدينة قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة فقالت : انظروا قبر النبي فاجعلوا منه كوا إلى
السماء حتى لا يكون بينه وبين السماء سقف قال : ففعلوا فمطروا مطرا حتى نبت العشب
وسمنت الإبل حتى تفتقط من السحم فسمي عام الفتق ( أخرجه الإمام الدارمى ج : 1 ص :
43)
Dari Aus bin Abdullah: "Sautu hari kota Madina
mengalami kemarau panjang, lalu datanglah penduduk Madina ke Aisyah (janda
Rasulullah s.a.w.) mengadu tentang kesulitan tersebut, lalu Aisyah berkata:
"Lihatlah kubur Nabi Muhammad s.a.w. lalu bukalah sehingga tidak ada lagi
atap yang menutupinya dan langit terlihat langsung", maka merekapun
melakukan itu kemudian turunlah hujan lebat sehingga rumput-rumput tumbuh dan
onta pun gemuk, maka disebutlah itu tahun gemuk” (Riwayat Imam Darimi)
Diriwayatkan oleh Imam Bukhori :
عن أنس بن مالك إن عمر بن خطاب كان إذا قطحوا استسقى
بالعباس بن عبد المطلب فقال : اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا
ننتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا قال : فيسقون (أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1
ص:137 )
Riwayat Bukhari: dari Anas bin malik bahwa Umar bin
Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas
bin Abdul Muttalib, lalu Abbas berkata:"Ya Tuhanku sesungguhkan kami
bertawassul (berperantara) kepadamu melalui nabi kami maka turunkanlah hujan
dan kami bertawassul dengan paman nabi kami maka turunkanlau hujan kepada, lalu
turunlah hujan.
Dalil-dalil yang melarang tawassul
Dalil yang dijadikan landasan oleh pendapat yang
melarang tawassul adalah sebagai berikut:
1. Surat Zumar, 2:
1. Surat Zumar, 2:
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ
اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى
اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ
يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih
(dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata):
"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami
kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan
di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah
tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.
Orang yang bertwassul kepada orang sholih maupun kepada para kekasih Allah, dianggap sama dengan sikap orang kafir ketika menyembah berhala yang dianggapnya sebuah perantara kepada Allah.
Orang yang bertwassul kepada orang sholih maupun kepada para kekasih Allah, dianggap sama dengan sikap orang kafir ketika menyembah berhala yang dianggapnya sebuah perantara kepada Allah.
Namun kalau dicermati, terdapat perbedaan antara
tawassul dan ritual orang kafir seperti disebutkan dalam ayat tersebut:
tawassul semata dalam berdoa dan tidak ada unsur menyembah kepada yang
dijadikan tawassul , sedangkan orang kafir telah menyembah perantara; tawassul
juga dengan sesuatu yang dicintai Allah sedangkan orang kafir bertwassul dengan
berhala yang sangat dienci Allah.
2. Surah al-Baqarah, 186:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ
دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي
لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
2. 186. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu
tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah
mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Allah Maha dekat dan mengabulkan doa orang yang berdoa kepadaNya. Jika Allah maha dekat, mengapa perlu tawassul dan mengapa memerlukan sekat antara kita dan Allah.
Namun dalil-dalil di atas menujukkan bahwa meskipun Allah maha dekat, berdoa melalui tawassul dan perantara adalah salah satu cara untuk berdoa. Banyak jalan untuk menuju Allah dan banyak cara untuk berdoa, salah satunya adalah melalui tawassul.
3. Surat Jin, ayat 18:
Allah Maha dekat dan mengabulkan doa orang yang berdoa kepadaNya. Jika Allah maha dekat, mengapa perlu tawassul dan mengapa memerlukan sekat antara kita dan Allah.
Namun dalil-dalil di atas menujukkan bahwa meskipun Allah maha dekat, berdoa melalui tawassul dan perantara adalah salah satu cara untuk berdoa. Banyak jalan untuk menuju Allah dan banyak cara untuk berdoa, salah satunya adalah melalui tawassul.
3. Surat Jin, ayat 18:
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ
اللَّهِ أَحَداً
72. 18. Dan
sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah
seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.
Kita dilarang ketika menyembah dan berdoa kepada Allah sambil menyekutukan dan mendampingkan siapapun selain Allah.
Kita dilarang ketika menyembah dan berdoa kepada Allah sambil menyekutukan dan mendampingkan siapapun selain Allah.
Seperti ayat
pertama, ayat ini dalam konteks menyembah Allah dan meminta sesuatu kepada
selain Allah. Sedangkan tawassul adalah meminta kepada Allah, hanya saja
melalui perantara.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Tawassul dengan perbuatan dan amal sholeh kita yang baik diperbolehkan menurut kesepakatan ulama’. Demikian juga tawassul kepada Rasulullah s.a.w. juga diperboleh sesuai dalil-dalil di atas. Tidak diragukan lagi bahwa nabi Muhammad SAW mempunyai kedudukan yang mulia disisi Allah SWT, maka tidak ada salahnya jika kita bertawassul terhadap kekasih Allah SWT yang paling dicintai, dan begitu juga dengan orang-orang yang sholeh.
Selama ini para ulama yang memperbolehkan tawassul dan melakukannya tidak ada yang berkeyakinan sedikitpun bahwa mereka (yang dijadikan sebagai perantara) adalah yang yang mengabulkan permintaan ataupun yang memberi madlorot. Mereka berkeyakinan bahwa hanya Allah lah yang berhak memberi dan menolak doa hambaNya. Lagi pula berdasarkan hadis-hadis yang telah dipaparkan diatas menunjukakn bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan suatu yang baru dikalangan umat islam dan sudah dilakukan para ulama terdahulu. Jadi jikalau ada umat islam yang melakukan tawassul sebaiknya kita hormati mereka karena mereka tentu mempunyai dalil dan landasan yang cukup kuat dari Quran dan hadist.
Tawassul adalah masalah khilafiyah di antara para ulama Islam, ada yang memperbolehkan dan ada yang melarangnya, ada yang menganggapnya sunnah dan ada juga yang menganggapnya makruh. Kita umat Islam harus saling menghormati dalam masalah khilafiyah dan jangan sampai saling bermusuhan. Dalam menyikapi masalah tawassul kita juga jangan mudah terjebak oleh isu bid'ah yang telah mencabik-cabik persatuan dan ukhuwah kita. Kita jangan dengan mudah menuduh umat Islam yang bertawassul telah melakukan bid'ah dan sesat, apalagi sampai menganggap mereka menyekutukan Allah, karena mereka mempunyai landasan dan dalil yang kuat. Tidak hanya dalam masalah tawassul, sebelum kita mengangkat isu bid'ah pada permasalahan yang sifatnya khilafiyah, sebaiknya kita membaca dan meneliti secara baik dan komprehensif masalah tersebut sehingga kita tidak mudah terjebak oleh hembusan teologi permusuhan yang sekarang sedang gencar mengancam umat islam secara umum.
Tawassul dengan perbuatan dan amal sholeh kita yang baik diperbolehkan menurut kesepakatan ulama’. Demikian juga tawassul kepada Rasulullah s.a.w. juga diperboleh sesuai dalil-dalil di atas. Tidak diragukan lagi bahwa nabi Muhammad SAW mempunyai kedudukan yang mulia disisi Allah SWT, maka tidak ada salahnya jika kita bertawassul terhadap kekasih Allah SWT yang paling dicintai, dan begitu juga dengan orang-orang yang sholeh.
Selama ini para ulama yang memperbolehkan tawassul dan melakukannya tidak ada yang berkeyakinan sedikitpun bahwa mereka (yang dijadikan sebagai perantara) adalah yang yang mengabulkan permintaan ataupun yang memberi madlorot. Mereka berkeyakinan bahwa hanya Allah lah yang berhak memberi dan menolak doa hambaNya. Lagi pula berdasarkan hadis-hadis yang telah dipaparkan diatas menunjukakn bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan suatu yang baru dikalangan umat islam dan sudah dilakukan para ulama terdahulu. Jadi jikalau ada umat islam yang melakukan tawassul sebaiknya kita hormati mereka karena mereka tentu mempunyai dalil dan landasan yang cukup kuat dari Quran dan hadist.
Tawassul adalah masalah khilafiyah di antara para ulama Islam, ada yang memperbolehkan dan ada yang melarangnya, ada yang menganggapnya sunnah dan ada juga yang menganggapnya makruh. Kita umat Islam harus saling menghormati dalam masalah khilafiyah dan jangan sampai saling bermusuhan. Dalam menyikapi masalah tawassul kita juga jangan mudah terjebak oleh isu bid'ah yang telah mencabik-cabik persatuan dan ukhuwah kita. Kita jangan dengan mudah menuduh umat Islam yang bertawassul telah melakukan bid'ah dan sesat, apalagi sampai menganggap mereka menyekutukan Allah, karena mereka mempunyai landasan dan dalil yang kuat. Tidak hanya dalam masalah tawassul, sebelum kita mengangkat isu bid'ah pada permasalahan yang sifatnya khilafiyah, sebaiknya kita membaca dan meneliti secara baik dan komprehensif masalah tersebut sehingga kita tidak mudah terjebak oleh hembusan teologi permusuhan yang sekarang sedang gencar mengancam umat islam secara umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar